"Serangkap perkataan sudah cukup untuk mereka yang mahu mengambil iktibar, tetapi seribu perkataan tidak cukup bagi mereka yang keras hati"

(UNTUK KESAN BACKGROUND MUSIC TERBAIK, SILA SET KAN VOLUME 20-25 SAHAJA, TQ)

Friday 5 October 2012

Selepas Berhijab.....


 

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... "Ya Allah, akhirnya dengan hijab ini aku dapat merasakan lazatnya nikmat iman."

Diakui atau tidak, baik atau buruknya perilaku seseorang itu, juga tergantung dengan siapa ia bergaul. Ketika sahabatnya adalah orang-orang yang memiliki akhlakul karimah (akhlak yang mulia), maka, secara tidak langsung ia telah ikut merasakan langkah sahabat-sahabatnya yang mulia.


Begitu pula sebaliknya, ketika yang mejadi teman gaul itu adalah sekelompok orang yang jauh dari cahaya Allah, kita pun akan mengikuti mereka sedikit demi sedikit. Sebab itu, kita perlu awasi  diri dengan siapa kita bersahabat, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.




Mungkin, kerana kegopohanku saya dalam memilih teman itulah, yang telah menjerumuskanku ke jalan yang sangat jauh dari nilai-nilai Islam.


Dua puluh tahun lalu, tahun 90-an, menyanyi-di-jalanan di kampus-kampus, terminal-terminal, telah menjadi pilihan gaya hidupku. Padahal, di lain pihak, orangtuaku termasuk orang yang berada (berkecukupan), untuk membiayai kuliah, kos dan duit poket ku.


Bahkan, beliau termasuk pengurus salah satu organisasi Masyarakat Islam terbesar di Indonesia, yang mana, kerja-kerja  dakwahnya cukup tinggi. Namun, sekali lagi, kerana salah pergaulan, justru jalan setan inilah yang menjadi ikutanku, sebelum akhirnya hidayah menyapa  ke dalam sanubari.


Pengalaman buruk itu bermula dari aku menjadi mahasiswi di sebuah universiti di Malang. Aku sendiri lahir dari Sidoarjo. Kerana jauhnya lokasi rumah dan kampus, maka saya lebih memilih untuk menyewa  di lokasi yang tidak jauh dari kampus.


Terus terang, sebenarnya aku menjalani proses perkuliahan itu dengan setengah hati. Tidak ada keseriusan di dalamnya. Oleh kerananya, untuk mencari hiburan, aku mendaftarkan diri untuk masuk group theater. Di sini, meskipun tidak sering, kami kadang-kadang diundang untuk mengisi beberapa acara.


Seiring dengan terus berjalannya waktu, tumbuh keinginan untuk mengikuti profesi beberapa temanku, iaitu menyanyi-jalanan. Bedanya, kalau mereka menyanyi untuk memenuhi biaya hidup, sedangkan aku, menjalaninya hanya untuk mencari kepuasan dan kesenangan diri semata.


Gayung bersambut, ternyata teman-temanku itu sangat responsif terhadap keinginanku tersebut. Sejak itulah, karier sebagai penyanyi jalanan di mulai.


Kampus-kampus terbesar di Malang seperti; IAIN (yang kini berubah menjadi UIN), IKIP, UNIBRAW, adalah diantara target kami. Namun, tidak jarang juga kami melebarkan sayap jangkauan kami, ke daerah Batu, kerana memang di sini tempat para pelancong  luar negeri, yang mana jika mereka memberi, relatif lebih besar dari pada orang-orang pribumi.


Dari hari ke hari, aku benar-benar dimabuk cinta oleh aktiviti baruku ini.Boleh dikatakan  saat itu aku sudah 'gila', 'gila' menyanyi.


Bayangkan, meskipun statusku sebagai mahasiswi, namun, aktiviti  dalam menyanyi , dan jauhnya jangkauan yang harus ditempuh, boleh dikatakan , mengalahkan , mereka yang memang berprofesion sebagai penyanyi sebenar
, sekalipun mereka itu lelaki . Aku dan beberapa teman tidak lagi menyanyi  di kampus-kampus, namun juga sudah menuju terminal-terminal.

Di Tangkap Polis


Pernah pada suatu hari, ketika sedang asik melantunkan sebuah lagu di terminal Arjosari, Malang, kami ditangkap  oleh polis Kerana kepandaian  kami bertikam  lidah, akhirnya, kami dilepaskan, "Pak, kami ini para mahasiswi yang sedang membuat  praktikal , yang meneliti tentang kehidupan para penyanyi ," jelas kami waktu itu yang langsung dipercayai.


Tapi pengalaman itu rupanya tak pernah menyurutkan ku menghentikan kebiasaan gila ini.


Tak puas hanya beroperasi  di daerah Malang saja, akhirnya kami beranikan diri untuk memperluas daerah jangkauan. Tidak tanggung-tanggung, daerah yang kami tuju adalah Lumajang, bahkan, kerana amat  kuatnya tekad untuk menyanyi , kami berani menyanyi   hingga ke Madura, Banyuwangi, bahkan Bali sekali pun. (Astaghfirullaha 'Adziim, semoga Allah mengampuni masa laluku).


Aktiviti yang demikian ini, terus aku jalani hingga aku duduk di semester enam. Meskipun demikian liarnya pergaulanku saat itu, orang tuaku tidak pernah mengetahuinya. Dan Alhamdulillah-nya, meskipun tidak terlalu baik, setiap kali ujian semester, aku selalu lulus. -mungkin- hal inilah, yang membuat orang tuaku tidak curiga dengan aktiviti saya.


Tapi memang di balik itu semua, terlihat keinginan mereka agar aku dapat  memperbaiki kostum pakaianku. Memang pada saat itu, baju yang ketat dengan bawahan seperti jeans, menjadi pakaian favoritku. Ditambah lagi dengan rambut yang terurai bebas.


Datangnya Hidayah ....


Senikmat apapun hidup di tengah kegelapan cahaya Allah, tetaplah itu semua kenikmatan palsu, yang tidak akan pernah mencapai kenikmatan hakiki yang mengarah kepada ketenangan jiwa, dan kesejukan hati.


Semakin hawa nafsu itu dituruti, sebenarnya  jiwa ini semakin haus, rindu akan siraman ketenangan. Namun, kerana hawa nafsu begitu dominan, yang terjadi hanyalah pengingkaran, pengingkaran jeritan hati. Sehingga, meskipun ia terluka, mulut masih boleh tetap tertawa dengan cerianya.


Begitu pula dengan diriku. Sebenarnya hatiku menjerit, mengakui kekeliruan jalan  yang aku pilih. Hingga terjadilah suatu peristiwa, yang cukup menggugah diriku, yang kemudian menjadi titik awal kembalinya saya ke fithrah Ilahiyah.


Hari itu (akhir dari tahun 1993), tersebutlah salah satu teman kosku yang baru saja menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL). Pada dasarnya, ia juga termasuk jenis orang yang kurang memperhatikan hijab, termasuk aurat (jilbab).


Tapi, kerana tempat PKL-nya di sekolah Muhammadiyah, maka ia pun "terpaksa" menggunakan hijab tersebut. Di tengah-tengah ia menyusun  pakaiannya, saya tertegun melihat jilbab yang sedang ia lipat.


Seketika itu saya memberanikan diri untuk memintanya, "Kak, jilbabnya saya ambil aja yah," ujarku kala itu. "Untuk apa?" timbalnya "Ya, mungkin suatu hari nanti aku akan memakainya. Sekaligus  buat kenang-kenangan. Akak kan sudah mau selesai kuliahnya," ujarku. Akhirnya jilbab itu ia berikan juga.


Setelah ia menyerahkan jilbab itu, saya langsung mencuba memakainya. "Wah kak cantik juga kalau pakai jilbab," ujar beberapa teman mengomentari perbuatanku. Ada rasa nyesss, tatkala aku bercermin dan melihat penampilanku berjilbab saat itu. Sepertinya setitis  embun telah membasahi hatiku. Rasanya sejuk sekali. Maka mulailah aku berfikir untuk menggunakan jilbab.


Meski demikian, masih terngiang dengan jelas di benakku, bagimana reaksi kedua orangtuaku nanti? Diam-diam aku pulang dengan penampilan baru, berjilbab. Tapi tetap saja, itu hanya bagian atas. Sebab, pakaian bawah, masih standard jahiliyah, menggunakan jeans.


"Nah, beginilah nak seharusnya seorang muslimah berbusana," puji orangtuaku dalam raut wajah cukup kaget dan linangan air mata. Mungkin kerana suka nya, mereka mengajakku memborong pakaiaan muslimah. Alhamdulillah, sejak saat itu, tekad ku menggunakan jilbab semakin kuat.


Terror dari Segala Penjuru ....


Namun, perjalanan ini rupanya tak semulus yang aku kira. Yang ada justeru jalan keras , lagi berbatuan. Akan tetapi, justru jalan yang demikian inilah, yang kemudian hari akan menghantarkan seseorang merasakan manisnya perjuangan, indahnya keimanan.


Setibanya di kampus aku diselimuti keraguan untuk menggunakan jilbab. Penyebabnya, tentusaja mempertimbangkan reaksi teman-temanku, yang sepertinya mereka fobia terhadap jilbab. Maka, untuk menghindari itu semua, aku pun 'kucing-kucingan' bersama mereka.


Kalau kuliah malam hari, saya mengenakan jilbab, kalau siang, akupun melucutinya seperti  bongkar-pasang. Perlakuan  ini berjalan hingga lima bulan. Tapi, lama-kelamaan, aku sendiri tidak kuat dengan permainan ini. Sebab itu, aku beranikan diri untuk berkata jujur kepada mereka, bahwa aku adalah  aku yang sudah dengan penampilan baru.


Apa yang saya khuatirkan sebelumnya benar-benar terjadi. Teman-temanku mencemooh dan mengkerdilkanku, "Apa kamu ingin menjadi pocong dengan pakai jilbab!". "Kalau kamu pakai jilbab, kamu tidak akan bebas.Kamu akan selalu terkekang," ujar yang lain. Semua itu, sangat mengiris-iris hatiku.


Tidak cukup dengan kata-kata  saja mereka berperilaku buruk (yang sebelumnya sangat-sangat akrab), mereka juga dengan beramai-ramai  menjauhiku. Seorang memboikot penampilanku, mereka hilang satu-persatu.


Jadilah aku "sebatang kara". Melihat kondisi kampus yang tidak kondusif ini, saya bermusyawarah dengan orangtua mengenai permasalahanku. Akhirnya diputuskan, berulang-alik  sebagai alternatifnya, sekalipun itu sangat jauh,  Malang-Sidoarjo.


Ternyata harapan untuk menggunakan hijab dengan mudah di rumah sendiri, tidak semudah membalik telapak tangan. Di sini pun aku dikucilkan oleh beberapa saudara.


"Perilaku masih liar  gitu kok pakai jilbab."


"Nanti saja makai jilbabnya. Kamu itu masih belum menikah. Nanti gak laku melihat penampilanmu yang aneh ini," ujar sebagian dari mereka.


Akan tetapi, sebesar apapun angin dan badai hinaan menghentam, aku telah bulatkan niat untuk tetap menggunakan jilbab. Agar pengetahuan agamaku semakin bertambah, maka, akupun membaca buku-buku agama, yang aku beli di kedai-kedai  buku.


Kerana membaca pengalaman betapa sukarnya berjalan di jalan yang diridhai Allah, setiap kali melaksanakan shalat, aku senantiasa berdo'a kepada-Nya.


"Ya Allah, sudilah kiranya Engkau memberikanku pendamping hidup yang mendukung apa yang aku yakini sebagai kebenaran ini," begitu doaku.


Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do'a-do'a hambanya. Melalui perantara kedua orangtuaku, aku akhirnya dijodohkan dengan seorang aktivis dakwah yang sebelumnya tak pernah aku kenal.


Aku sangat bersyukur berdampingan dengannya. Selain ia sebagai figur suami yang baik, ia juga merupakan sosok pembimbing yang senantiasa mengarahkan ke pada jalan yang benar, yang diridhai oleh Allah. Yang sangat membahagiakanku, ia adalah seorang yang sangat mengerti agama dan seorang dai.




Saat ini, kami telah dianugerahi dua putera dan dua puteri. Selain sibuk mengurusi rumah tangga dan mendidik anak-anak, aku juga aktif di organisasi muslimah yang berada di bawah naungan salah satu harakah Islam.


"Ya Allah, kini akhirnya aku dapat merasakan lazatnya nikmat iman ini."


"Wahai para Muslimah, gunakanlah hijab sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh agama (Islam) yang indah dan mulia ini. Dengan hijab itu identiti kalian akan lebih jelas. Tanpanya, bukan hanya keimanan kita saja yang kurang nampak, namun, keislaman kitapun patut dipertanyakan."


[kisah ini diceritakan langsung oleh Ibu Fina kepada hidayatullah.com/Robin

sumber : zilzaal
(dengan alih-bahasa)

No comments:

Post a Comment