"Serangkap perkataan sudah cukup untuk mereka yang mahu mengambil iktibar, tetapi seribu perkataan tidak cukup bagi mereka yang keras hati"

(UNTUK KESAN BACKGROUND MUSIC TERBAIK, SILA SET KAN VOLUME 20-25 SAHAJA, TQ)

Wednesday, 26 September 2012

Kisah Benar: Senyum Indah Sang Bidadari....





Bonda, puasa itu wajib ya? Kata bu guru Ila, puasa itu wajib buat semua muslim," tanya Nabila sepulang sekolah. "Ila juga mau ikut puasa ah, supaya dapat pahala dan masuk syurga," lanjutnya.

"Ila mau masuk syurga, bonda. Ila mau jumpa Allah," ia masih melanjutkan kalimat penuh minat  dari bibir mungilnya. "Kalau Ila masuk syurga, Ila boleh  jumpa ayah ya, bonda? Tapi nanti siapa yang menjaga  Bonda?"


Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya, seperti biasa ia akan terus berceloteh riang tanpa henti. "Iya sayang, jadi Ila juga mesti belajar puasa dari sekarang ya, supaya Allah makin sayang sama Ila," sahutku bahagia mendengar semangat putri kecilku itu.




Ketika mengantarnya tidur, ia kembali mengingatkan untuk membangunkannya saat sahur nanti. Ia berbisik di telingaku saat aku mengecup keningnya di tempat tidur, "Bonda, kalau besok Ila puasa penuh, do'akan  Ila cepat jumpa sama Allah ya," pintanya polos.


Dug! Ada perasaan lain menyergapku. Ah, segera kutepis rasa aneh itu. Seharusnya aku bersyukur ia tidak seperti teman-teman sebayanya yang sulit diajak belajar berpuasa. Aku mengiyakan dan hanya mengangguk dalam diam, ribuan syukur kupanjatkan padaNya kerana telah menganugerahkanku seorang puteri kecil yang luar biasa.


Di sepertiga terakhir malamku, kembali kutumpahkan airmata kesyukuran atas karuniaNya memberiku Nabila di sebuah episod kehidupanku. Kuhiba segunung pinta agar Dia selalu menjaganya di tiap desah nafas yang Ia berikan. Tiada lain yang kuinginkan selain menjadikan puteriku seorang wanita shalihah bidadariMU di dunia.


Nabila terlihat begitu bersemangat menyantap sahurnya. Ia mengambil sayur yang biasa enggan disentuhnya tanpa kuminta. Benar-benar sahur pertama yang begitu berkesan bagiku, sama seperti sahur pertama beberapa tahun lalu saat aku merasakan berpuasa pertama dengan status baruku sebagai seorang isteri dari lelaki pilihan yang dipilihkanNya.


Pagi itu, sebelum mengantar Nabila ke sekolah, kusempat  singgah ke kedai  peralatan kueh untuk membeli beberapa bahan yang kuperlukan. Kuajak Nabila turun dan kupimpin  ia masuk ke dalam kedai . Aku sibuk memilih beberapa bahan hingga tak sedar bahwa Nabila tiada  lagi di sampingku.


Tiba-tiba kudengar beberapa wanita menjerit dan orang-orang berlarian di luar kedai . Aku tersedar Nabila tak ada di dekatku. Aku panik dan ikut berlari ke luar kerana aku tak menemukannya di dalam kedai .


Aku berlari ke arah kerumunan orang ramai dan sesaat kurasakan bumi seolah berhenti berputar. Bumi tempatku berpijak seakan-akan menarik segenap kemampuanku untuk bergerak. Di depanku, Nabila tergeletak dengan baju seragam putihnya yang berlumuran darah.


Segera kudekap ia erat dan menggendongnya rapat. Aku dibantu beberapa orang di sekitar lokasi segera melarikan buah hatiku ke hospital . Di dalam kereta  kudengar orang-orang mengatakan bahwa puteriku adalah korban langgar  lari.


Sungguh aku tak peduli bagaimana kejadian sebenarnya atau siapa pun pelakunya, bagiku saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa puteri mungilku. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku beristighfar dan mengajak bicara puteriku dan memintanya bertahan.


Nabila mengeluarkan desah-desah kecil yang berusaha kutangkap, "Bonda, sakit. Kepala Ila, Nda." Jelas terlihat ia menahan sakit yang tak tertahankan.


Sekuat tenaga aku berusaha menyimpan tangisan yang sudah menyesak di dada. Aku tak boleh terlihat menangis kerana itu akan membuatnya lebih sakit dan panik. Aku harus terlihat tenang agar semangatnya muncul untuk berjuang melawan sakitnya.


"Ila sabar ya sayang, kita hampir sampai ke hospital . Bonda tahu anak bonda kuat, Ila harus bertahan ya sayang, Allah pasti bantu Ila supaya sembuh," ah, derai itu sulit sekali terbendung saat melihat raut wajah bidadari kecilku yang pucat menahan sakit. Darah terus mengalir dari pelipisnya.


"Bonda, Allah sayang Ila kan. Allah mau kan jumpa Ila?" parau suaranya masih bisa terdengar di telingaku.


Sebuah senyuman tersungging di bibir mungilnya. Senyuman terindah yang pernah ia punya. Ah, semakin erat dakapanku seolah ia tak ingin kulepaskan lagi.


Aku seolah terseret ke peristiwa 2 tahun silam saat aku berada di posisi yang sama, mendakap seseorang yang sudah menjadikanku permaisuri di taman hatinya meregang nyawa setelah sebuah kereta melanggarnya tepat di depan pintu gerbang setelah mengantarkanku ke sekolah tempatku mengajar. Masih terpahat di ingatan, senyuman terakhir yang diberikannya petang  itu. Ya Rabb, kuatkan hamba.


Sampai di hospital , Ila segera dilarikan ke ruang kecemasan. Doktor memintaku untuk menunggu di depan ruang pembedahan  karena ternyata Ila harus segera dibedah  disebabkan pendarahan hebat di kepala dan punggungnya.


Aku merasa detik demi detik merambat begitu perlahan di ruang tunggu itu. Setelah hampir 2 jam menghabiskan waktu dengan kecemasan yang sulit digambarkan di depan ruang operasi itu, akhirnya aku menyeret langkahku ke arah mushala di ujung koridor untuk mengadukan segala gundah yang kurasakan di atas sajadah cintaNya.


Setulus kalbu kupinta dan kurayu pada sang pemberi hela nafas agar Ia menyembuhkan puteri kecilku. Namun di sebalik semua itu, aku hanya meminta yang terbaik dariNya untuk cahaya mataku itu, kerana aku yakin apa pun yang diputuskanNya, maka itu adalah yang terbaik untuknya, untukku, dan untuk semuanya.


Aku hanya meminta Dia memberiku kekuatan melalui semua ini. Ketenangan semakin kurasakan saat lirih ayat-ayat cintaNya itu kulafadzkan lirih. Ada rasa damai yang tiba-tiba hadir menyelusup di sanubari.


Kembali ke ruang tunggu kujumpai seorang wanita separuh baya yang kurasakan juga sedang menghadapi gundah yang sama. Ah, ruang ini, bangunan ini, seakan airmata, kegelisahan, dan kecemasan tersketsa di tiap sudut hospital .


Setelah hampir 4 jam menunggu dengan kecemasan yang tak tergambarkan, doktor itu ke luar dan menatapku dengan tatapan sendu. Aku hafal sekali tatapan itu, tatapan yang sama saat lelaki yang telah menjadikanku seorang ibu itu dibawa masuk ke ruang pembedahan , tatapan serupa saat wanita yang menjadi perantara hadirku ke dunia harus melawan maut di meja bedah  itu.


Ya Allah, kupinta kekuatan dariMU. "Bonda, kalau besok Ila puasa penuh, do'akan  Ila cepat jumpa sama Allah ya," terdengar lagi pintanya semalam.


Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ...


Kulihat wajah Nabila pucat seperti kapas, namun di wajahnya senyum manis itu tak jua sirna, tak lagi kulihat sebuah derita di sana, yang tersisa hanya sebuah senyuman yang mengiringinya menghadap sang pemilik kehidupan.


Senyum yang juga diberikan ayahnya saat ia pergi meninggalkan dunia fana ini. Airmata tak lagi bisa kubendung saat kutatap lekat wajah bidadari kecilku itu, seolah ingin kupahat tiap inci  wajahnya di dinding hati agar sketsa itu takkan pernah pudar untuk selamanya....


Selamat jalan, sayang. Kau pergi disaat mulia, disaat kau mulai meraba erti kehidupan di usiamu yang belia, disaat kau mulai tertatih belajar mencintaiNya, di Ramadhanmu yang pertama. Kau dapatkan kebahagiaan orang yang berpuasa, kebahagiaan akan perjumpaan denganNya.


Bonda mencintaimu, nak. Sangat, namun ternyata cintaNya padamu telah menguntum saat cinta bonda masih berputik. Bonda sedar cintaNya akan lebih dapat  membuatmu bahagia. Dia jauh lebih mencintaimu, sayang.


Hingga Dia tak rela kau dibius cinta dunia, kerana itu Ia ingin kau ada di sisiNya. Bonda janji, bonda akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat  memelukmu lagi. Do'akan bonda, ya nak. Bonda sayang Ila, nak.


- Penulis : Nur Akmaliyah -

sumber: zilzaal

No comments:

Post a Comment