"Serangkap perkataan sudah cukup untuk mereka yang mahu mengambil iktibar, tetapi seribu perkataan tidak cukup bagi mereka yang keras hati"

(UNTUK KESAN BACKGROUND MUSIC TERBAIK, SILA SET KAN VOLUME 20-25 SAHAJA, TQ)

Wednesday 6 June 2012

KISAH BENAR: BERHENTINYA WANITA BERKARIER INI


 

Petang  itu sambil  menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid itu  seusai solat  ashar,  kulihat seseorang yang berpakaian rapi, berjilbab dan tertutup sedang duduk di tepi  masjid. Kelihatannya ia sedang menunggu seseorang juga. Aku mencuba menegurnya dan duduk disampingnya, mengucapkan salam, sambil  berkenalan.


Dan akhirnya pembicaraan sampai pula pada satu pertanyaan . “Anti sudah menikah?”.

“Belum ”, jawabku datar.

Kemudian wanita berjubah panjang (Akhwat) itu bertanya lagi, “kenapa?”



Pertanyaan yang hanya dapat  ku jawab dengan senyuman. Ingin kujawab kerana  masih hendak melanjutkan pendidikan, tapi rasanya itu bukan alasan.

“Akak menunggu siapa?” aku mencuba bertanya.

“Menunggu suami” jawabnya pendek.

Aku melihat di samping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak dapat  ku teka apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana akak ini? Seperti wanita berkarier. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya “Akak kerja di mana?”

Entah keyakinan apa yang membuatku demikian yakin jika kakak ini memang seorang wanita bekerja, padahal setahu ku, akhwat-akhwat seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai suri  rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah  "pintu awal' kita wanita berkarier yang dapat  membuat kita lebih hormat pada suami”,jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Hairan. Lagi-lagi dia hanya tersenyum.

Saudariku, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini dapat  menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah hanya ingin didatangi oleh laki-laki yang baik-baik dan sholeh saja.

“Saya bekerja di pejabat , mungkin tak perlu saya sebutkan nama pejabatnya. Gaji saya 4 ribu/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari dan ais cendol di tengah hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan semalamlah untuk pertama kalinya saya menangis kerana merasa derhaka padanya. Kamu tahu kenapa ?

Waktu itu jam 7 malam, suami saya menjemput saya dari pejabat, hari itu over time, biasanya petang  jam 3 sudah pulang.
 Setibanya dirumah, mungkin hanya istirehat yang terlintas dibenak kami wanita berkarier. Ya, saya akui saya sungguh letih sekali, ukhti. Dan kebetulan saat itu suami juga beritahu  yang  dia masuk angin dan kepalanya pening. Malangnya rasa pening  itu juga menyerang saya.
 Berbeda dengan saya, suami saya hanya minta diambilkan air putih untuk minum, tapi saya malah berkata, “Abi, umi pening  nih, ambil sendiri lah !!”.

Pening  membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pening  pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan nyenyaknya.

Menuju ke dapur, saya lihat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalau bukan suami saya (kami memang berkomitmen untuk tidak memiliki pembantu)? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pening  tadi malam? Saya segera masuk lagi ke bilik, berharap abi sedar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu penat , hingga tak juga sedar .

Rasa hiba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi demam, tinggi sekali panasnya. Saya teringat perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air putih saja saya membantahnya. Air mata ini menetes,  kerana telah melupakan hak-hak suami saya.”

Subhanallah, aku melihat kakak ini bercerita dengan semangatnya, membuat hati ini sayu . Dan kulihat juga ada titisan air mata yang di usapnya.

“Saudari tahu berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 500-600 /bulan. Sepersepuluh dari gaji saya sebulan. Malam itu saya benar-benar merasa sangat derhaka pada suami saya.

Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya dengan ikhlas dari lubuk hatinya. Setiap kali memberikan hasil jualannya, ia selalu berkata “Umi, ini ada titipan rezeki dari Allah, ambil ya,  buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah-mudahan Umi ridho”, begitulah katanya.
 Saat itu saya baru merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong dan derhaka pada nafkah yang diberikan suami saya, dan saya yakin hampir tidak ada wanita berkarier yang selamat dari fitnah ini”

“Alhamdulillah, saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih dapat  menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu sering begitu susah jika tanpa harta, dan kerana harta juga wanita sering lupa kudratNya" Lanjutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.

“Beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya justru tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja. Sesuai dugaan saya, mereka malah membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan yang lain.”

Aku masih terdiam, bisu mendengar keluh kesahnya. Subhanallah, apa aku mampu  seperti dia? Menerima sosok suami  apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.

“Kak, bukankah kita harus memikirkan masa depan ? Kita kerja juga kan untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini mahal. Begitu banyak orang yang perlukan  pekerjaan. Nah kakak malah mau berhenti kerja. Suami kakak pun pendapatannya kurang. Lainlah kalau  suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah.

Salah kakak juga sih, kalau mau jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah dengan  yang kaya. Sama doktor muda itu yang berniat melamar kakak dulu sebelum dengan  yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah dengan  orang yang belum jelas pekerjaannya.
Dari 4 orang anak ayah , cuma suami kakak yang tidak punya pendapatan  tetap dan yang paling buat kami kesal, seperti suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarkan  kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai hairan aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali mengalir, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.

“Anti tau, saya hanya dapat menangis saat itu. Saya menangis bukan kerana apa yang dikatakan adik saya itu benar, Demi Allah bukan kerana itu. Tapi saya menangis karena imam saya sudah dipandang rendah  olehnya.

Bagaimana mungkin dia meremehkan setiap titis keringat suami saya, padahal dengan titisan keringat itu, Allah memandangnya mulia ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membangunkan saya untuk sujud dimalam hari ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya ?

Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan ?

Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah di hadapannya hanya kerana sebuah pekerjaaan ?

Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya.

Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya.

Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya.

Saya berharap dengan begitu saya tak lagi membantah perintah suami saya. Mudah-mudahan saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga dengan pekerjaan suami saya ukhti, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan seperti itu.

Disaat kebanyakan orang lebih memilih jadi penganggur dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tetapi suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi isteri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya.

Suatu saat jika anti mendapatkan suami seperti suami saya, anti tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anti pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhti, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rezeki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya, bergegas ingin meninggalkanku.

Kulihat dari kejauhan seorang laki-laki dengan menggunakan  motorsikat  mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helmet, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, wanita itu meninggalkanku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang isteri yang begitu ridho.

Ya Allah….

Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling berkesan dalam hidupku. Pelajaran yang membuatku menghapus sosok seorang  kaya yang ada dalam benakku..Subhanallah..Walhamdulillah..Wa Laa ilaaha illallah...Allahu Akbar

Semoga pekerjaan, harta dan kekayaan tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya..

Sumber:  ZILZAAL 

No comments:

Post a Comment