"Serangkap perkataan sudah cukup untuk mereka yang mahu mengambil iktibar, tetapi seribu perkataan tidak cukup bagi mereka yang keras hati"

(UNTUK KESAN BACKGROUND MUSIC TERBAIK, SILA SET KAN VOLUME 20-25 SAHAJA, TQ)

Tuesday 5 February 2013

DAVID SANFORD SCHERER....PELUK ISLAM KERANA TAKBIR RAYA....




 Gema takbir di malam Idul Fitri 20 tahun silam, menggetarkan hati David Sanford Scherer. Kalimat yang mengagungkan sang Khalik itu membuatnya terharu.

Cahaya iman pun menyala dalam hatinya. Seketika itu pula, pemuda kelahiran Yokohama, Jepun itu memutuskan memeluk Islam.

”Terus saya nyatakan  mau masuk Islam. Alhamdulillah, di malam takbir itu saya memeluk Islam,” ujar ayah dua anak itu kepada Republika di sela-sela acara pengajian yang digelar Mushala Al-Muhajirin, Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.

Tak hanya gema takbir yang membuatnya memeluk Islam. Suara adzan yang berkumandang lima kali sehari juga menjadi pembuka pintu hidayah. Pengusaha catering terkemuka di Pulau Dewata itu mengaku selalu tergetar  setiap kali mendengar takbir di malam hari raya.

”Makanya, malam takbir saya tiada di Bali. Biasanya ke Jakarta. Mertua saya di Ciputat,”papar suami dari Indriani Kuntowati itu menjelaskan.

David hijrah ke Indonesia bersama orang tuanya pada 1980-an. Kedua orang tuanya mencuba berbagai usaha hingga akhirnya menetap di kawasan Menteng Dalam.

Seperti halnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama, David pun mulai mengenal puasa, shalat, serta takbir dari lingkungan masyarakat Menteng Dalam.

Ia amat bersyukur menjadi seorang Muslim. Menurut David, umumnya orang Indonesia terlahir sebagai seorang Muslim. Namun, kata dia, mualaf umumnya lebih cepat memahami, menjiwai serta mengamalkan ajaran Islam.

”Itu, kerana para mualaf menyedari Islam agama terbaik,” ungkap aktivis tadabbur Al-Quran bersama Ar-Rahman Quranic Learning Center Bali. Ia mengatakan untuk dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, para orang tua harus menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya.

Seringkali, kata dia, orang tua menyuruh anak-anaknya mengaji, sementara mereka tidak melakukannya. Padahal, contoh terbaik dimulai dari orang tua di rumah.

Kebaikan apa saja, kata David, bila dicontohkan orang tua dengan baik, akan diikuti anak. Kalau cuma perintah dan orang tua tidak melakukannya, sulit dilaksanakan dengan baik.

Sebagai seorang Muslim, David berupaya menjadi imam bagi isteri dan anak-anaknya. David tak pernah henti bersyukur. Semangat menjalankan ajaran Islam yang dilakukannya diikuti kedua anaknya.

Bersama puteranya waktu itu, ia berhasil mewujudkan mushala di sekolah anaknya waktu itu. ”Alhamdulillah, ini semua berkat rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga memudahkan siapa pun melaksanapakan ibadah,” ungkap David penuh syukur.

Apa kesan David tentang umat Islam Indonesia? Secara jujur ia mengungkapkan, sebagian besar umat Islam Indonesia masih memandang seseorang dari material  dan penampilan.

Contohnya, saya pakai gamis, orang pikir saya ustadz. Besoknya, saya pakai celana jeans biasa-biasa, saya ucapkan Assalamu’alaikum, mereka tidak  mau menjawab.”

David juga merasa sedi masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum memahami dan mengamalkan tuntunan Al-Quran. ”Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan wang tidak  bersih, tidak   malu,” ujarnya.


Masjid Ibnu Batutah, Bali

Ia merasa optimistis
, Bali boleh  menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat Subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumaat.

”Boleh  jadi, kerana Muslim di Bali masih minoriti,” ujar David yang aktif mengikuti pengajian di berbagai masjid dan majlis taklim.

Menurut dia, bukanlah suatu yang mustahil, kelak Bali menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.

Peristiwa Bom Bali

Lantas, apa pendapatnya terhadap peristiwa Bom Bali beberapa waktu lalu yang menewaskan banyak orang? David mengaku merasakan sedih yang luar biasa.

”Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai kereta 
pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang waktu itu berkata, ‘Wah Pak, nanti keretanya bawa sial!’ Wallahu a’lam. Saya kata, yang penting saya ingin menolong.”

Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi, berkat gotong royong masyarakat di Bali, Alhamdulillah lancar.

Mengunjungi Masjid-masjid

Ada kebiasaan menarik yang dilakukan David Scherer dan teman-temannya di Bali. David yang sejak 20 tahun lalu memeluk Islam itu saban Jumaat mengunjungi sejumlah masjid yang ada di Denpasar secara bergantian. Tak hanya bersilaturahim dan melaksanakan shalat Jumat, bersama rakan-rakannya yang aktif di pengajian Ar-Rahman Quranic Learning (AQL) Center Bali, pemuda kelahiran 9 Februari 1972 ini membahagikan nasi bungkus.

”Alhamdulillah, secara rutin saya dan kawan-kawan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membahagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumaat,” papar David penuh syukur.

Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar penuh semangat berbahagi usai shalat Jumat? Berdasarkan pengalamannya, kata dia, usai Jumaat banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.

Alasannya, waktu  istirahat baik dari pejabat swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, banyak jamaah salat Jumaat terburu-buru keluar masjid untuk makan tengahari  dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.

Dengan kegiatan itu, ia dan kawan-kawannya berusaha mengajak jamaah shalat Jumaat untuk tetap di masjid usai shalat, bersilaturahim sekaligus makan tengahari.

Caranya? ”Nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka tak  usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita boleh  silaturahim sambil menikmati makan tengahari ,” ungkap ayah dari Adam Arthur Scherer dan Andrea Kirana Scherer bahagia.

Untuk dapat  bersilaturahim ke 200 masjid yang ada di Denpasar, David memerlukan waktu selama empat tahun. ”Itu pun dengan syarat setiap Jumaat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk dapat  berkeliling ke seluruh masjid di Bali, saya memerlukan waktu selama lapan tahun.”

David merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa dapat  bersilaturahim sekaligus makan tengahari  bersama jamaah shalat Jumaat di berbagai masjid yang dikunjunginya.

sumber: kisahmualaf.com

No comments:

Post a Comment