"Serangkap perkataan sudah cukup untuk mereka yang mahu mengambil iktibar, tetapi seribu perkataan tidak cukup bagi mereka yang keras hati"

(UNTUK KESAN BACKGROUND MUSIC TERBAIK, SILA SET KAN VOLUME 20-25 SAHAJA, TQ)

Monday 11 February 2013

DULU PENGEDAR DADAH, KINI PENYEBAR DAKWAH...



“Bila  rasa ketagihan itu muncul rasanya sakit sekali, Pak. Tubuh saya menggigil dan rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perut juga rasanya sakit sekali. Saya sampai merangkak menuju pancuran di sungai dekat tempat  untuk berwudlu"

Langit mulai meredup. Sinar jingga mulai menghias di ufuk barat. Aku dan seorang teman kembara perlahan menuju sungai untuk membasuh diri. Hari ini selesai tugas kami memberikan pelajaran asas  survival di pantai. Kami berdua termasuk panitia yang mendampingi 150-an pemuda dalam kegiatan susur pantai di perbatasan Banten dan Jawa Barat.

Sungai kecil  dekat Pantai Citarate Kecamatan Cilograng Kabupaten Lebak sangat nyaman di petang  itu . Ternyata beberapa panitia juga mengikuti kami berdua untuk mandi di sepanjang sungai kecil ini. Temanku, sebut saja EM mulai mengambil peralatan mandinya. Aku mendahului EM untuk menyebur ke aliran sungai yang berada hanya 50 m dari pantai.

Ketika aku hampir selesai mandi, aku mendekat ke EM. Terkejut bukan kepalang diriku. Kulihat badan EM yang kurus penuh dengan tatoo. Bahagian dadanya terlihat tatoo bergambar kalajengking sedangkan di punggung kanannya gambar naga berwarna hitam menyatu dengan kulitnya. Aku sama sekali tak menyangka EM berpenampilan ala kepala mafia atau mantan penjenayah. Setahuku, ia adalah seorang yang sholeh dan menjadi juru dakwah di lingkungan di Kota Bogor.

Aku mencuba menahan diri untuk tidak mengganggu kenyamanan EM di petang  itu. Aku bersabar untuk menanyakan tentang tatoo itu pada saat yang tepat nanti. Seiring waktu, malam mulai menyergap dan nyamuk sudah mulai mengerubungi kami. Akhirnya kami menyudahi bersih-bersih badan menuju camping ground yang berjarak 200 m dari sungai.

***

Salam kedua shalat subuh berjamaah di Mushola Desa Citarate sudah kutunaikan. Semua jamaah keluar dari mushola, kecuali aku dan EM. Aku menemukan momentum untuk menghilangkan keterkejutanku kemarin petang  tentang tatoo di tubuh EM. Kubuka pembicaraan pagi itu dengan sebuah pertanyaan,

“Pak, tatoo itu sudah lama?” Berhati-hati aku menanyakan hal yang sangat sensitif ini.

“Sudah, Pak.”

“Itu tanda atau apa, Pak?”

“Saya dulu pengedar (dadah), Pak Siddik. Ini tanda kelompok kami di daerah A. Pengedar daerah lain punya tanda tatoo yang berbeda pula.”

EM menjawab tenang, seolah-olah  sudah tahu bahwa tatoo yang terlihat olehku akan ditanyakan. Kemudia EM melanjutkan ceritanya;

“Di kota Bogor, saya salah satu pengedar yang menjajakan pil Koplo dan ganja. Mangsanya anak sekolah, Pak.”

“Apa anak sekolah senang, Pak?” Tanyaku mulai berminat.

“Senang , Pak dan relatif selamat. Saya dapat untung besar. Lumayan, satu hari boleh 100 ribu saya bawa pulang.”

“Sumber  barangnya dari mana?”

“Dari Bandung. Daerah Cianjur, Sukabumi, Kota dan Kabupaten Bogor di supply  dari Bandung. Saya beli per ban (berbentuk bantal) untuk Pil Koplo, lalu di bungkus kecil-kecil dalam plastik dan dimasukkan ke dalam kotak korek api. Kalau ganja saya beli per Am (sampul) lalu saya campur dengan rokok. Jadi saya di sekolah seolah sebagai pedagang rokok, Pak.”

“Tak diketahui polis?” Aku mulai sedikit menginterogasi bak polis.

“Selamat , Pak. Polis sudah kita bayar. Nama polisnya saya masih ingat betul. Selama polis itu
tidak ketahuan mem-backing narkoba, kita akan aman menjalankan kerja2. Tapi sekali kena, semua jaringan kita akan habis.”

“Jadi polis yang backing Bapak ketahuan?” Aku tak sabar mendengar cerita berikutnya.

“Ya, polis itu ketahuan dan dipecat. Kami para pengedar akhirnya menghilang diri. Ada teman saya yang pergi Ke Kalimantan, Ke Sumatera dan tempat yang jauh dari Bogor. Saya sendiri awalnya malah tinggal dekat dengan Polsek. Malah selamat . Tapi keberadaan saya masih diikuti oleh pengedar hingga akhirnya saya pindah ke pelosok desa.”

“Bagaimana akhirnya Bapak berhenti jadi pengedar dan penagih dadah?”

“Saya dihantui ketakutan kerana jadi buruan polis. Saya mencari jalan bagaimana caranya berhenti dari pekerjaan jahat ini. Pernah saya masuk ke lubang kuburan yang besok harinya akan diisi mayat. Saya tidur di dalam lubang kuburan dan mengandaikan diri saya sudah mati. Saya berpikir, kalau saya mati dalam kondisi penuh dosa seperti ini, sungguh menyesal saya.”

Aku mulai terharu mendengar pengakuan EM yang tulus.

“Lalu bagaimana Bapak bisa sembuh dari ketergantungan dadah?”

“Saat saya sembunyi dari buruan polis dan teman pengedar, saya tinggal di pelosok desa. Saya berjumpa dengan seorang bernama Asep. Awalnya kami hanya bermain pingpong, lalu lama-lama dia mengajak saya mengikuti pengajian. Saya sudah bertekad ingin berubah dan berharap pengajian ini membawa saya berubah. Seorang pembimbing pengajian bernama Ustadz Eka menyarankan saya untuk jangan lepas shalat terutama shalat malam. Saya awalnya berat mengerjakan shalat. Saya paksakan terus. Sampai ketika reaksi badan yang mengigil akibat pengaruh kecanduan terasa menyiksa badan saya, saya tetap paksakan mendatangi tempat wudlu.” EM berhenti sejenak.

“Sebenarnya reaksi dadah itu muncul rasanya sakit sekali, Pak. Tubuh saya menggelinjang dan rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum. Perut juga rasanya sakit sekali. Saya sampai merangkak menuju pancuran di sungai dekat tempat  untuk berwudlu. Saking sakitnya, saya tertidur dibawah pancuran semalaman. Alhamdulillah, setelah semalaman diguyur air pancuran yang dingin rasa sakit itu jadi berkurang. Saya ulangi tiap hari sampai akhirnya saya merasa menggigil bukan kerana reaksi kecanduan, tapi kerana menggigil dari air. Lama-kelaman akhirnya saya sembuh.”

“Alhamdulillah, ya. Ternyata petunjuk datang saat ada kesungguhan ya, Pak.” Saya semakin terharu mendengar cerita ini.

“Setelah sembuh saya makin mantap ikut pengajian. Ustadz Eka juga mengajak saya untuk mengambil bahagian  dalam kegiatan dakwah di masyarakat. Alhamdulillah, Pak, kehidupan saya berubah total. Saya dapat isteri yang baik dan anak yang baik pula. Hidup saya cukup meski gaji kecil.”

“Priiit…” suara wisel dari panitia susur pantai sudah berbunyi.

“Ayo, Pak kita ke camping ground.” Ajakku pada EM.

Kami pun menyudahi dialog singkat namun sangat bermakna. Aku benar-benar terinspirasi dengan cerita EM, seorang pengedar dadah yang bertaubat dan kini mengabdikan diri jadi juru dakwah. Hari itu aku belajar banyak akan makna kasih sayang Tuhan pada orang yang bersungguh-sungguh ingin berubah.

***




Tuhan memberi jalan-Nya
yang tak terduga bagi siapa yang ingin kembali. DIA tak pernah mengecewakan usaha seorang hamba yang sudah bertekad bulat mencuci dosa dan kembali pada jalan yang benar. Ampunan dan dan kasih-Nya, melebihi menggunungnya dosa, meluapnya kesalahan dan luasnya khilaf. [PKS Depok]

Note: EM sekarang telah menjadi Kader PKS

Sumber

Tuesday 5 February 2013

DAVID SANFORD SCHERER....PELUK ISLAM KERANA TAKBIR RAYA....




 Gema takbir di malam Idul Fitri 20 tahun silam, menggetarkan hati David Sanford Scherer. Kalimat yang mengagungkan sang Khalik itu membuatnya terharu.

Cahaya iman pun menyala dalam hatinya. Seketika itu pula, pemuda kelahiran Yokohama, Jepun itu memutuskan memeluk Islam.

”Terus saya nyatakan  mau masuk Islam. Alhamdulillah, di malam takbir itu saya memeluk Islam,” ujar ayah dua anak itu kepada Republika di sela-sela acara pengajian yang digelar Mushala Al-Muhajirin, Denpasar, Bali, beberapa waktu lalu.

Tak hanya gema takbir yang membuatnya memeluk Islam. Suara adzan yang berkumandang lima kali sehari juga menjadi pembuka pintu hidayah. Pengusaha catering terkemuka di Pulau Dewata itu mengaku selalu tergetar  setiap kali mendengar takbir di malam hari raya.

”Makanya, malam takbir saya tiada di Bali. Biasanya ke Jakarta. Mertua saya di Ciputat,”papar suami dari Indriani Kuntowati itu menjelaskan.

David hijrah ke Indonesia bersama orang tuanya pada 1980-an. Kedua orang tuanya mencuba berbagai usaha hingga akhirnya menetap di kawasan Menteng Dalam.

Seperti halnya Presiden Amerika Serikat Barack Obama, David pun mulai mengenal puasa, shalat, serta takbir dari lingkungan masyarakat Menteng Dalam.

Ia amat bersyukur menjadi seorang Muslim. Menurut David, umumnya orang Indonesia terlahir sebagai seorang Muslim. Namun, kata dia, mualaf umumnya lebih cepat memahami, menjiwai serta mengamalkan ajaran Islam.

”Itu, kerana para mualaf menyedari Islam agama terbaik,” ungkap aktivis tadabbur Al-Quran bersama Ar-Rahman Quranic Learning Center Bali. Ia mengatakan untuk dapat menjalankan ajaran Islam dengan baik, para orang tua harus menjadi contoh dan teladan bagi anak-anaknya.

Seringkali, kata dia, orang tua menyuruh anak-anaknya mengaji, sementara mereka tidak melakukannya. Padahal, contoh terbaik dimulai dari orang tua di rumah.

Kebaikan apa saja, kata David, bila dicontohkan orang tua dengan baik, akan diikuti anak. Kalau cuma perintah dan orang tua tidak melakukannya, sulit dilaksanakan dengan baik.

Sebagai seorang Muslim, David berupaya menjadi imam bagi isteri dan anak-anaknya. David tak pernah henti bersyukur. Semangat menjalankan ajaran Islam yang dilakukannya diikuti kedua anaknya.

Bersama puteranya waktu itu, ia berhasil mewujudkan mushala di sekolah anaknya waktu itu. ”Alhamdulillah, ini semua berkat rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga memudahkan siapa pun melaksanapakan ibadah,” ungkap David penuh syukur.

Apa kesan David tentang umat Islam Indonesia? Secara jujur ia mengungkapkan, sebagian besar umat Islam Indonesia masih memandang seseorang dari material  dan penampilan.

Contohnya, saya pakai gamis, orang pikir saya ustadz. Besoknya, saya pakai celana jeans biasa-biasa, saya ucapkan Assalamu’alaikum, mereka tidak  mau menjawab.”

David juga merasa sedi masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum memahami dan mengamalkan tuntunan Al-Quran. ”Maaf-maaf kata, berangkat haji dengan wang tidak  bersih, tidak   malu,” ujarnya.


Masjid Ibnu Batutah, Bali

Ia merasa optimistis
, Bali boleh  menjadi jendela bagi Islam Indonesia ke dunia. Salah satu contoh, kata David, jamaah shalat Subuh Masjid Baitul Makmur di Denpasar seperti shalat Jumaat.

”Boleh  jadi, kerana Muslim di Bali masih minoriti,” ujar David yang aktif mengikuti pengajian di berbagai masjid dan majlis taklim.

Menurut dia, bukanlah suatu yang mustahil, kelak Bali menjadi jendela Islam Indonesia bagi dunia. Asalkan, setiap Muslim mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari, tanpa menimbulkan ketersinggungan di kalangan orang-orang di sekitarnya.

Peristiwa Bom Bali

Lantas, apa pendapatnya terhadap peristiwa Bom Bali beberapa waktu lalu yang menewaskan banyak orang? David mengaku merasakan sedih yang luar biasa.

”Empat hari saya di kamar jenazah. Sampai kereta 
pendingin saya pinjamkan untuk menyimpan jenazah. Orang waktu itu berkata, ‘Wah Pak, nanti keretanya bawa sial!’ Wallahu a’lam. Saya kata, yang penting saya ingin menolong.”

Dalam pandangannya, peristiwa Bom Bali merupakan kejadian yang sangat berat. Kejadian itu benar-benar sangat berat. Tapi, berkat gotong royong masyarakat di Bali, Alhamdulillah lancar.

Mengunjungi Masjid-masjid

Ada kebiasaan menarik yang dilakukan David Scherer dan teman-temannya di Bali. David yang sejak 20 tahun lalu memeluk Islam itu saban Jumaat mengunjungi sejumlah masjid yang ada di Denpasar secara bergantian. Tak hanya bersilaturahim dan melaksanakan shalat Jumat, bersama rakan-rakannya yang aktif di pengajian Ar-Rahman Quranic Learning (AQL) Center Bali, pemuda kelahiran 9 Februari 1972 ini membahagikan nasi bungkus.

”Alhamdulillah, secara rutin saya dan kawan-kawan bersilaturahim ke masjid-masjid di Denpasar. Tak hanya itu, dalam setiap kali kunjungan, saya selalu membawa dan membahagikan ratusan nasi bungkus buat jamaah shalat Jumaat,” papar David penuh syukur.

Apa yang mendorong David dan teman-temannya di Denpasar penuh semangat berbahagi usai shalat Jumat? Berdasarkan pengalamannya, kata dia, usai Jumaat banyak orang yang terburu-buru meninggalkan masjid untuk mendapatkan makan siang.

Alasannya, waktu  istirahat baik dari pejabat swasta maupun negeri, tidak terlalu panjang. Akibatnya, banyak jamaah salat Jumaat terburu-buru keluar masjid untuk makan tengahari  dan tidak sempat lagi bersilaturahim sesama jamaah.

Dengan kegiatan itu, ia dan kawan-kawannya berusaha mengajak jamaah shalat Jumaat untuk tetap di masjid usai shalat, bersilaturahim sekaligus makan tengahari.

Caranya? ”Nasinya saya bawa ke masjid. Akhirnya, mereka tak  usah buru-buru lagi meninggalkan masjid. Kita boleh  silaturahim sambil menikmati makan tengahari ,” ungkap ayah dari Adam Arthur Scherer dan Andrea Kirana Scherer bahagia.

Untuk dapat  bersilaturahim ke 200 masjid yang ada di Denpasar, David memerlukan waktu selama empat tahun. ”Itu pun dengan syarat setiap Jumaat saya harus terus keliling. Sedangkan untuk dapat  berkeliling ke seluruh masjid di Bali, saya memerlukan waktu selama lapan tahun.”

David merasakan kenikmatan yang sangat luar biasa dapat  bersilaturahim sekaligus makan tengahari  bersama jamaah shalat Jumaat di berbagai masjid yang dikunjunginya.

sumber: kisahmualaf.com